Oleh Budi Santosa 5 Juli 2017
Salah satu masalah yang sering diperbincangkan berkaitan dengan
dunia pendidikan tinggi kita adalah jumlah profesor. Rasio jumlah profesor
terhadap jumlah dosen kita masih terlalu kecil, masih kurang dari 10 persen.
Seperti dikemukakan Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) Ali
Ghufron, jumlah profesor kita baru 5.389. Angka ini lebih kecil dibandingkan
dengan jumlah dosen kita yang sekitar 260.000. Dengan jumlah program studi
(prodi) yang mencapai 22.000 untuk seluruh Indonesia, seharusnya ada minimal
22.000 profesor. Dengan asumsi satu prodi mempunyai satu profesor. Kita
kekurangan jumlah profesor. Benarkah jumlah profesor menjadi indikator penting
sebuah perguruan tinggi?
Mengapa Minim?
Memang harus diakui dari sisi jumlah, profesor kita jauh
di bawah negara tetangga, Malaysia. Mereka mempunyai sekitar 25.350
profesor. Jika dibandingkan jumlah penduduk, profesor per kapita kita jauh di
bawah Malaysia, meskipun terjadi peningkatan jumlah cukup signifikan sejak
2015, dari 4.700 orang menjadi 5.389 orang pada 2017.
Prosedur pengurusan yang makin mudah dan syarat yang makin ketat
ternyata tidak mengurangi kecepatan pertambahan jumlah profesor dalam dua tahun
terakhir. Namun, jumlah itu jauh dari memadai jika digunakan standar 10
persen atau satu prodi satu profesor. Mengapa jumlah profesor kita minim?
Ini adalah masalah yang terkait dengan masalah lain di pendidikan tinggi kita,
terutama masalah finansial.
Ada setidaknya dua hal penting mengapa tak banyak dosen bergelar
doktor berminat mencapai jabatan profesor. Pertama, tanpa menjadi profesor,
banyak dosen merasa sudah aman secara finansial dan nyaman. Banyak dosen yang
hanya bergelar master sudah mampu hidup layak. Mereka mempunyai pendapatan
memadai. Tentu bukan gaji sebagai penopang utama karena gaji plus tunjangan
dosen tanpa jabatan profesor tidak besar ketimbang profesi lain di luar dosen.
Pekerjaan sampingan berupa proyek dari perusahaan, BUMN, atau
lembaga pemerintah telah memberikan pemasukan yang besar bagi para dosen.
Pemasukan itu bisa didapat dengan cara yang lebih mudah dan waktu lebih cepat
daripada, misalnya, dengan honor penelitian yang butuh waktu lama dan rumit
pertanggungjawabannya.
Hubungan baik dosen dengan lembaga pemberi pekerjaan bahkan juga
membuat para dosen muda bergelar master malas untuk meneruskan jenjang
pendidikan yang lebih tinggi ke luar negeri. Mereka takut kehilangan
jaringan (network) kalau harus melanjutkan pendidikannya ke luar negeri.
Buat apa mencapai gelar doktor kalau dengan master saja mereka masih bisa
mengajar dengan hak-hak yang penuh dan pekerjaan mereka di luar kampus
tidak mensyaratkan gelar akademik doktor.
Kedua, banyak dosen muda bergelar master dan doktor yang
menduduki jabatan struktural. Jabatan struktural di perguruan tinggi, walaupun
bukan jalur karier utama seorang akademisi, ternyata telah menyebabkan banyak
dosen kurang berminat atau kehilangan fokus untuk mencapai jabatan profesor.
Dengan jabatan struktural, dari sisi keuangan mereka merasa sudah mendapatkan
imbalan yang memadai. Di sisi lain dengan jabatan struktural dan tanggung jawab
yang melekat, banyak dosen berpindah fokus.
Fokus akademik dikalahkan oleh tugas-tugas struktural mengelola
urusan operasional kampus yang berat. Selain itu, dengan jabatan struktural,
mereka merasa menjadi orang penting dalam suatu institusi pendidikan
tinggi.
Dalam praktiknya para pejabat struktural ini lebih berkuasa
mengatur program di pendidikan tinggi daripada para profesor. Ini juga menjadi
keasyikan tersendiri bagi sebagian dosen. Kenyataan akan jabatan
struktural ini membuat mereka nyaman untuk terus berkarier di struktural
daripada mengejar jabatan fungsional dosen untuk mencapai karier tertinggi
sebagai profesor.
Jalan Keluar
Ini terjadi hampir di semua perguruan tinggi kita. Bahkan,
mungkin jabatan struktural menjadi incaran utama para dosen daripada karier
akademik. Apakah ini bagus untuk perkembangan perguruan tinggi kita? Inilah
salah satu masalah mendasar kita. Banyak akademisi lebih senang meniti karier
sebagai pejabat struktural daripada sebagai akademisi. Ini yang harus dikurangi
secara perlahan atau bahkan dihilangkan. Berikan jabatan struktural kepada para
profesional di bidangnya.
Bahkan, kalau perlu jabatan rektor pun bisa dijabat orang luar
yang bukan akademisi, tetapi punya kompetensi memadai dalam manajemen perguruan
tinggi. Jabatan-jabatan struktural di perguruan tinggi tak ubahnya jabatan di
perusahaan umum. Perusahaan umum perlu ahli keuangan, ahli sumber daya manusia,
ahli teknologi informasi, ahli organisasi, dan sebagainya yang diambil dari
para profesional di bidangnya. Perguruan tinggi ke depan harus berani
mengambil langkah seperti itu. Dosen lebih baik berkonsentrasi di akademis dan
Tri Dharma.
Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH) adalah salah
satu solusi untuk ke arah sana. PTN BH dimaksudkan untuk membangun universitas
dengan gaya manajemen “swasta”, tetapi mutu akademiknya PTN plus. Gaya “swasta”
berarti organisasinya ramping, tetapi tetap efektif. Mutu akademik PTN plus
berarti PTN BH harus menghasilkan keluaran lebih dari PTN pada umumnya.
Dengan segala kelebihan kewenangan yang dimiliki PTN BH,
seharusnya sasaran di atas bisa dicapai. Walaupun dalam praktiknya hal ini
masih tabu karena tidak mudah menggaet profesional untuk berkarier di bidang
pendidikan jika dana terbatas.
PTN BH yang sudah mampu menggali dana di luar bantuan pemerintah
sudah semestinya merekrut para profesional untuk mengelola pendidikan. Sebuah
perguruan tinggi swasta di Korea Selatan, Konkuk University, berani merekrut
para tenaga muda Korea lulusan master dari perguruan tinggi ternama di AS
untuk menjadi tenaga pemasaran (marketing) untuk beberapa wilayah
regional di seluruh dunia. Ini salah satu terobosan bagaimana para
pekerja non-dosen dilibatkan dalam pengelolaan perguruan tinggi.
Usulan seperti ini kemungkinan akan mendapat tantangan keras
banyak pihak. Karena konsekuensi dari sistem ini adalah dosen kembali ke laboratorium
dan kelas. Tugas utamanya adalah meneliti, mengajar, dan melakukan pengabdian
masyarakat. Pada kenyataannya, para pejabat struktural yang dosen menghabiskan
sebagian besar waktunya justru memikirkan masalah manajemen pendidikan tinggi
baik di level universitas, fakultas, maupun departemen. Sulit diharapkan
keluaran akademis berupa publikasi atau karya ilmiah lain yang berbobot ketika
para dosen itu menduduki jabatan struktural. Mungkin ada beberapa superior
mampu memegang keduanya, tetapi umumnya sulit.
Fokus Tri Dharma
Keresahan akan minimnya jumlah profesor sesungguhnya identik
dengan keresahan dengan jumlah karya ilmiah yang dihasilkan karena profesor
dianggap identik dengan produsen karya-karya ilmiah atau produk akademik yang
lain.
Akan tetapi, benarkah jumlah profesor merupakan indikator yang
penting bagi sebuah perguruan tinggi? Mari kita tengok beberapa data terbatas
untuk universitas top di Indonesia dari sisi peringkat. Baru-baru ini, QS
mengeluarkan peringkat perguruan tinggi di Indonesia 2017. Memang Dikti telah
berkomitmen menaikkan peringkat PTN kita di kancah dunia. Dikti memilih lembaga
yang dipakai adalah peringkat universitas oleh QS. Lembaga pemeringkat
yang lain, antara lain Jiao Tong atau Times Higher Education. Standar apa yang
digunakan oleh QS dalam memeringkat universitas dunia diikuti oleh Dikti dalam
rangka menaikkan peringkat universitas kita. Tiga besar universitas dalam
negeri yang mampu mencapai peringkat bagus di QS adalah UI, ITB, dan UGM.
Jika kita lihat, UI, ITB, dan UGM mempunyai 231, 167, dan 321
profesor. UI dan ITB, meskipun jumlah profesornya di bawah UGM ,
mempunyai peringkat lebih baik daripada UGM. Dari sisi produktivitas riset,
yaitu berupa publikasi terindeks Scopus, ternyata ITB justru yang paling baik
di antara ketiganya. Jumlah profesor bukan jaminan kualitas sebuah perguruan
tinggi.
Sampai di sini sebenarnya yang lebih penting dalam menaikkan
peringkat perguruan tinggi adalah meningkatkan jumlah doktor. Universitas harus
mendorong dosen-dosennya meningkatkan jenjang pendidikan hingga doktor.
Dari sanalah kualitas dan kuantitas riset atau publikasi akan bisa ditingkatkan
karena pendidikan doktorlah yang secara mendalam mengasah kemampuan riset dan
publikasi. Ini lebih penting daripada mempermasalahkan jumlah profesor.
Pemerintah lebih baik memberikan insentif bagi para dosen yang
bergelar doktor untuk meningkatkan kerja Tri Dharma di dalam pengajaran,
penelitian termasuk publikasi dan pengabdian kepada masyarakat.
Kalau itu bisa ditingkatkan bersama dengan perbaikan prosedur
pengurusan pangkat, profesor hanyalah konsekuensi yang akan tercapai. Perguruan
tinggi juga sebaiknya memberikan porsi jabatan struktural kepada tenaga
non-dosen sehingga dosen akan berkonsentrasi pada Tri Dharma perguruan tinggi.
BUDI SANTOSA
Profesor Teknik Industri ITS
Source: Kompas
x